Gorontalo, KABARteropongdesa.id – Kerusakan lingkungan akibat aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Desa Bulangita, Desa Teratai, dan Desa Palopo, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, kini menampakkan dampak nyata yang tak terbantahkan. Salah satu manifestasi dari kerusakan tersebut adalah tingginya tingkat sedimentasi lumpur yang telah mengendap dan menyumbat saluran irigasi serta aliran air menuju kawasan wisata Pohon Cinta.
Tak hanya berhenti pada saluran irigasi, sedimentasi ini pun telah menjalar ke badan jalan dan kebun-kebun milik warga, memicu keresahan yang kian membuncah di kalangan masyarakat lokal. Dalam situasi tertentu—terutama saat hujan deras mengguyur—air meluap dari saluran yang tersumbat lumpur, menciptakan genangan yang merusak dan berpotensi menimbulkan bencana lanjutan.
Saat dikonfirmasi awak media pada Kamis, (10/07), seorang warga terdampak menyampaikan unek-uneknya dengan nada getir. “Kami sangat menyesalkan sikap diam dari pemerintah desa yang wilayahnya menjadi pusat aktivitas tambang ilegal. Seolah-olah lumpur ini tidak ada, seolah-olah kami yang di bawah ini tidak mengalami apa-apa. Padahal kami yang kena imbasnya secara langsung,” ujarnya.
Warga juga melayangkan kritik keras terhadap para pengumpul kontribusi di lokasi PETI yang dinilai hanya mengejar keuntungan ekonomi sesaat tanpa memikirkan implikasi ekologis dan sosial yang ditimbulkan. Keberadaan para pengelola kontribusi tambang yang tak bertanggung jawab dinilai telah memperburuk kondisi lingkungan, mempercepat degradasi kawasan, dan melemahkan daya dukung ekosistem lokal.
“Dulu gunung-gunung yang mengelilingi Marisa ini hijau dan indah dipandang. Sekarang sudah gundul dan rawan longsor. Kami takut, dalam setahun ke depan bisa terjadi banjir bandang besar yang menimpa pusat kota,” ungkap seorang tokoh masyarakat dengan nada prihatin.
Situasi ini menegaskan adanya kegagalan tata kelola lingkungan dan lemahnya kontrol sosial terhadap aktivitas tambang ilegal di wilayah-wilayah yang seharusnya menjadi zona lindung atau zona budidaya non-pertambangan. Ketiadaan intervensi konkret dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) pun menjadi titik sorotan warga. Mereka menuntut Kepala DLH Pohuwato untuk tidak lagi bersikap pasif dan segera menyusun langkah mitigasi bersama instansi terkait, sebelum kerusakan lingkungan berubah menjadi bencana yang memakan korban jiwa.
“Kepala DLH jangan diam. Ini sudah lampu merah. Kalau tidak segera diatasi, dampaknya bukan hanya di desa-desa, tapi bisa menyeret seluruh kota Marisa ke dalam krisis lingkungan yang lebih luas,” imbuh warga lainnya saat diwawancarai di lokasi irigasi yang terdampak lumpur.
Warga yang terdampak bahkan harus secara swadaya mengangkat lumpur yang mengendap, karena saluran irigasi yang tersumbat mengancam kehidupan sehari-hari mereka. Ketiadaan bantuan teknis atau anggaran penanganan pasca-kerusakan memperlihatkan betapa lemahnya komitmen pemerintah desa terhadap keselamatan ekologis dan kesejahteraan masyarakat bawah.
Situasi ini, jika dibiarkan tanpa respons serius, berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan berorientasi pada keadilan sosial. Dalam perspektif hukum lingkungan dan etika kepemimpinan desa, pembiaran terhadap aktivitas tambang ilegal yang menimbulkan kerusakan ekosistem dapat dikategorikan sebagai bentuk kelalaian administratif, bahkan indikasi pelanggaran etis oleh aparatur desa yang semestinya menjadi garda terdepan pelindung masyarakat.
Oleh sebab itu, desakan publik tidak lagi cukup disikapi dengan retorika politik atau janji-janji kosong. Dibutuhkan langkah korektif yang tegas, dimulai dari moratorium aktivitas tambang ilegal, investigasi terhadap praktik pungutan kontribusi tambang tanpa dasar hukum, hingga penertiban terhadap semua bentuk eksploitasi yang tidak sesuai kaidah AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Warga berharap agar pelaku usaha tambang dan pemegang kendali sosial-ekonomi di lingkaran PETI ikut bertanggung jawab secara moril dan hukum atas dampak sedimentasi ini. Tidak sepatutnya kepentingan ekonomi sesaat mengorbankan keberlanjutan hidup masyarakat di hilir.
“Kami ini bukan musuh tambang, tapi kami menolak tambang yang tidak bertanggung jawab,” pungkas warga dengan penuh harap agar suara mereka tidak kembali dikubur lumpur seperti nasib tanah-tanah subur yang kini berubah menjadi lautan lumpur. RED














